Bangsa Adalah Masyarakat Politik Di Dalam Wilayah
Kewarganegaraan Bersama
Biasanya, anggota bangsa juga memiliki kewarganegaraan yang sama atau serupa, yang mengatur hak dan kewajiban mereka.
Pemerintahan dan Politik Bersama
Sebagian besar bangsa memiliki bentuk pemerintahan atau struktur politik bersama yang mengatur hubungan antar-anggota bangsa dan dengan negara-negara lain.
Identitas Nasional
Anggota bangsa merasa memiliki identitas nasional yang kuat dan merasa terikat secara emosional pada bangsa tersebut. Identitas nasional bisa mencakup rasa kebanggaan, solidaritas, dan afiliasi dengan bangsa.
Step 1: The first step should be to consult with a healthcare professional or a registered dietitian to discuss the assessment test results and create a personalized plan for weight loss that is safe and effective.
© 2024 — Perpustakaan Amir Machmud
Didukung oleh Kementerian Dalam Negeri
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Berikut ini terdapat beberapa ciri-ciri bangsa yang bisa anda kenali, yakni:
Salah satu ciri utama sebuah bangsa adalah penggunaan bahasa yang sama atau serupa oleh sebagian besar anggotanya. Bahasa seringkali menjadi salah satu aspek yang paling kuat dalam membedakan satu bangsa dari yang lain.
Bangsa seringkali memiliki unsur budaya bersama, seperti tradisi, adat istiadat, norma sosial, seni, musik, dan kesenian yang sama atau serupa. Budaya ini membentuk dasar dari identitas bangsa dan membedakannya dari kelompok lain.
Sebagian besar bangsa memiliki sejarah bersama yang mencakup peristiwa-peristiwa penting atau pengalaman bersama, seperti perjuangan politik atau peristiwa bersejarah yang membentuk identitas bangsa.
Beberapa bangsa terkait dengan wilayah geografis tertentu atau merupakan penduduk negara tertentu. Bangsa bisa juga memiliki klaim atas wilayah tertentu yang menjadi pusat identitas mereka.
Kewarganegaraan dan Hukum Bersama
Hukum, aturan, dan regulasi sering diatur oleh pemerintah bangsa yang mencakup seluruh populasi.
JADI NARASUMBER : Wakil Ketua DPRD Jateng Sukirman bersama anggota Komisi B Sofwan Sumadi menjadi narasumber dalam dialog yang diadakan Bakesbangpol Jateng di Kajen.(foto: jos aldy)
KAJEN – Masyarakat sangat memiliki peran dalam menentukan arah perkembangan politik Tanah Air. Penegasan tersebut disampaikan Wakil Ketua DPRD Jateng Sukirman dalam dialog yang digelar Badan Kesatuan Bangsa & Politik (Bakesbangpol) Provinsi Jateng di Kajen, Kabupaten Pekalongan, Sabtu (26/2/2022).
Menurutnya, politik bertujuan baik dan mulia untuk masyarakat. Karena itulah keaktifan masyarakat dalam berpolitik sangat diharapkan agar seluruh aspirasi masyarahat dapat tersalurkan dan terealisasi dengan baik.
“Jangan abai terhadap politik, ikuti semua perhelatan-perhelatan politik, mari berikan aspirasi panjenengan semua, partisipasi masyarakat sangat menentukan arah perkembangan politik, ini semua demi kesejahteraan kita semua ” ujar Sukirman.
Senada, anggota Komisi B Sofwan Sumadi mengatakan, dengan kesadaran dan keaktifan masyarakat dalam berpolitik dan berdemokrasi maka menjadikan masyarakat akan mengenal permasalahan politik yang ada serta dapat membantu dalam pemecahannya. Selain itu parpol yang sehat serta pers yang mencerdaskan juga dapat mempengaruhi arah berpolitik dan berdemokrasi.
“Tentu saja dalam berpolitik dan berdemokrasi harus tetap menjunjung nilai kejujuran, kebebasan, kepatuhan, persamaan, toleransi serta perdamaian,” pungkas Sofwan.(jos/priyanto)
Ulil Abshar Abdalla, Penulis Analisis Politik
Demokrasi jelas bukan sistem yang terbaik. Akan tetapi, di antara sistem-sistem yang tidak ideal dan mengandung cacat intrinsik, demokrasilah satu-satunya sistem politik yang relatif mendekati gambaran ideal. Alasannya, karena demokrasilah sistem yang menyediakan mekanisme internal untuk melakukan koreksi diri. Dalam demokrasi tersedia mekanisme perbaikan diri yang melekat.
Filosofi yang mendasari demokrasi adalah setiap manusia memiliki kecenderungan bawaan untuk berbuat salah. Inilah yang disebut dengan falibilisme. Karena manusia memiliki kemampuan dan godaan alamiah untuk keliru, diperlukan sistem yang bisa mengoreksi kesalahan itu. Dalam demokrasi, manusia tidak dipandang sebagai ”malaikat” yang hanya mampu berbuat kebaikan. ”If men were angels,” demikian kata negarawan Amerika Serikat, James Madison (1751-1836), ”no government would be necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal controls on government would be necessary.” Jika malaikat berkuasa di dunia, tidak perlu ada kontrol pada pemerintahan. Justru karena manusia memegang kekuasaan, kontrol diperlukan.
Baca juga: Pentingnya ”Pemimpin Jangkar”
Kontrol itulah esensi demokrasi. Kontrol, kritik, dan koreksi dari kekuatan sosial di luar kekuasaan itulah bentuk mekanisme perbaikan diri dalam sebuah demokrasi. Demokrasi akan berjalan dengan sehat jika kita tetap menyadari adanya tendensi falibilistik pada manusia ini; kecenderungan untuk berbuat salah. Jika prinsip dasar ini diingkari, demokrasi akan rusak dan bahkan pelan-pelan akan mati.
Warga berswafoto dengan latar gapura hias di sekitar TPS 44, Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara pada Pemilihan Presiden, Rabu (17/4/2019). Hiasan nuansa pedesaan in dibuat untuk menyemarakkan Pilpres 2019 dan mendorong warga untuk aktif memilih.
Diam-diam, ada kelompok dalam masyarakat yang mengingkari prinsip sederhana. Kita, saat ini, sedang melihat munculnya filosofi politik baru yang memiliki pandangan yang justru berlawanan dengan prinsip falibilisme di atas. Kelompok ini berpandangan bahwa manusia, dalam ruang politik, tidak boleh berbuat salah. Dalam ruang politik, hanya ada satu kemungkinan: manusia harus berbuat benar. Dengan kata lain, dalam politik, manusia harus menjadi ”malaikat”. Ini, bagi saya, adalah patologi atau penyakit politik yang membahayakan demokrasi. Dengan menganggap bahwa manusia harus menjadi ”malaikat” dalam ruang politik, orang-orang seperti ini diam-diam memiliki pandangan bahwa kritik harus ditolak. Koreksi dimustahilkan.
Ada dua pihak yang diam-diam memiliki pandangan politik seperti ini. Pertama, pihak dari dalam kekuasaan dan, kedua, pihak dalam masyarakat. Pihak penguasa kerap mempromosikan pandangan yang menganggap bahwa kekuasaan adalah ruang yang diisi oleh manusia-manusia yang serupa malaikat. Mereka, karena itu, tidak boleh dikritik, tidak boleh dikoreksi. Sikap penguasa seperti ini, anehnya, didukung juga oleh sebagian dari kelompok dalam masyarakat.
Dalam kekuasaan Joko Widodo selama ini, terutama dalam periode kedua, kita menyaksikan tendensi politik seperti ini, yakni tendensi yang melihat penguasa sebagai manusia serupa malaikat yang tidak boleh dikritik. Pemerintah dilihat sebagai seorang ”pahlawan” yang sedang memikul tugas suci untuk membawa Indonesia keluar dari alam kegelapan. Karena itu, kritik ditolak.
Penguasa saat ini tidak percaya pada prinsip utama dalam demokrasi, yaitu falibilisme atau kemungkinan manusia politik untuk berbuat salah.
Upaya untuk mengintervensi Mahkamah Konstitusi akhir-akhir ini, dalam satu segi, bisa kita lihat sebagai bentuk dari patologi politik semacam itu. Intervensi ini, jika kita telaah lebih dalam, adalah cerminan dari pandangan bahwa penguasa ”saat ini” adalah sejenis malaikat yang sedang memikul tugas suci dan karena itu harus dijaga agar tetap bertahan hingga waktu yang lebih lama dari term yang tersedia baginya sesuai aturan dalam konstitusi. Pihak penguasa yang ada saat ini tidak percaya bahwa penguasa berikutnya akan mampu memikul tugas suci ini. Penguasa berikutnya hanyalah manusia biasa yang lemah dan tidak memiliki kekuatan serupa pahlawan.
Dengan kata lain, penguasa saat ini tidak percaya pada prinsip utama dalam demokrasi, yaitu falibilisme atau kemungkinan manusia politik untuk berbuat salah. Dia memandang bahwa dirinya bukan manusia, melainkan malaikat yang tidak mungkin berbuat salah.
Presiden Jokowi Sebut Prabowo Soal Pemimpin yang Kuat
Dalam masyarakat sendiri, gejala serupa juga muncul. Ada tendensi patologis yang aneh dalam sebagian masyarakat kita bahwa manusia, dalam ruang politik, tidak boleh berbuat salah. Kesalahan dinihilkan sama sekali. Ini tampak, misalnya, dalam kecenderungan antikritik yang diarahkan kepada tokoh-tokoh politik yang mereka dukung. Setiap kelompok tertentu akan menganggap bahwa tokoh politik yang menjadi pilihan politik mereka adalah serupa ”malaikat” yang tidak mungkin berbuat salah.
Tendensi-tendensi semacam ini jelas akan merusakkan sendi-sendi demokrasi yang sehat.
Simbol-Simbol Nasional
Banyak bangsa memiliki simbol-simbol nasional, seperti bendera, lambang, lagu kebangsaan, atau motto, yang mencerminkan identitas dan kebanggaan nasional mereka.